Galengan

Oleh: Nana Suhendra

Ular di galengan memberikan simbol bahwa ada mahluk lain selain kita. Ular ini berjalan hanya melintas, lain lagi dengan kita berjalan dengan jalan pintas.

Seberapa luas tanah yang dimiliki disitu ada galengan (pematang sawah/batas tanah) ketika berada di sawah. Galengan telah memberi inspirasi. Saat mengawali menanam padi di sawah terlebih dahulu tanah dibajak atau dicangkul, hal yang pertama dilakukan adalah membuat galengan.

Bukan hanya sebatas pembatas, kendati hidup ini semua ada batasnya, namun galengan ini sebagai langkah awal bagaimana membuat aliran air dapat bergenang dengan baik, dan memperhatikan setiap lubang agar tidak bocor agar irigasi berjalan dengan baik.

Jadi ketika akan menanam yang diperhatikan terlebih dahulu yaitu saluran air. Apakah bisa menggenangi atau bisa digunakan untuk nyiram, ngaboyor, semua itu diperhatikan terlebih dahulu galengannya.

Bahkan, galengan menjadi petunjuk. Kendati hanya berukuran sekitar 30 cm, namun galengan mengajarkan kepada kita bukan ukuran jalan yang besar untuk mencapai tujuan itu, tapi dibutuhkan keseimbangan, kehati-hatian, fokus, bahkan kewaspadaan karena situasi galungan ini terkadang ada yang kering bahkan masih gembur. Sesekali ada yang melintas, yaitu ular.

Ular di galengan memberikan simbol bahwa ada mahluk lain selain kita. Ular ini berjalan hanya melintas, lain lagi dengan kita berjalan dengan jalan pintas. Hal yang menarik dari ular ini, yang tersisa di galeungan hanya kulitnya saja. Kata orang tua kita bahwa oray (ular) “keur megar” (lagi menetas/ganti kulit), tentunya proses ini oray melakukannya dengan berpuasa. Bagaimana jiwanya agar tidak terikat dengan sesuatu yang mengikat.

Tak sampai disitu, galengan pun menjadi tempat favorit bagi berkumpulnya keluarga saat makan di sawah. Tak seperti sekarang yang dimakan entah darimana asalnya, tau-tau ada. Tapi bagi mereka yang dimakan hanya tempe, gorengan asinan, sambel (bawang, cabe dan garam), lebih mewahnya sayur kuning (kentang dan mie/hula-hula).

Bukan tentang apa yang mereka makan, tapi bagaimana mensyukuri makanan itu sendiri. Semua terasa nikmat. Ditambah canda tawa, dan pesan dari seorang ayah yang tubuhnya berlumuran leutak (lumpur), dan sosok ibu yang selalu menemani dengan teh peco-nya untuk suami tercinta.

Usai makan, sambil memainkan kakinya dengan air, sosok petani ini bercerita hidup ini tak ubahnya saat kita menanam padi. Semua diawali dengan menyiapkan bibit, mengolah lahan, memupuk, memelihara, dan menjaganya, dan semua itu akan menghasilkan panen yang berkah ketika kita menjalankannya dengan penuh cinta dan rasa syukur.

Saat padi menguning, dan musim panen pun tiba. Takdir pun terkadang berkata lain, apakah padi habis dengan burung, tikus dan mahluk lainnya. Seringkali menganggap bahwa mereka itu hama. Jangan berkata seperti itu anakku, yakinlah selama kita sudah berikhtiar dan menjaganya, sang pemilik alam semesta ini akan menggantinya dengan kemakmuran lainnya.

Tak sampai disana, bicara galeungan, melihat sendiri ada yang yang berteriak dengan mata melotot sambil melak cangkeng bertengkar mempermasalahkan galengan. Menurut pengakuannya bahwa ada sebagian tanah yang ke ambil, begitu juga sebaliknya. Jadi hati-hati ketika menentukan batas.

Semua ada batas. Ada batas wilayah, ada batas kekuasaan, bahkan hidup kita juga ada batasnya. Saat menjabat seorang pemimpin disuatu wilayah, dirinya bukan siapa-siapa ketika berada di wilayah daerah lain. Apalagi saat kita diambil batas hidup oleh pemiliknya apa yang akan kita lakukan. Selain ingin hidup kembali, dengan permohonan “berikan aku kesempatan wahai Tuhan pemilik kehidupan dan kematian, maka aku akan beribadah kepada-Mu”.

Selagi batas itu ada lakukanlah, sebelum masa sakitmu datang, sebelum masa sempitmu, sebelum masa matimu, lakukanlah dengan membuka hati, pikiran untuk tidak meninggalkan kewajiban seorang hamba.

Sejalan dengan waktu, galengan pun setiap musim terus dilakukan pembenahan kembali. Tak lain agar batas itu terlihat jelas, sehingga tahu seberapa luas lahan yang kita miliki. Begitu juga dalam jiwa ini, kita perlu pembatas agar kita sadar siapa kita. Dimata orang tua, tiada lain sosok bayi mungil yang diasuh penuh dengan cinta tanpa belas kasih. Ibu rela meluangkan waktunya menemani sang bayi hingga dewasa. Sementara seorang ayah rela tubuhnya menjadi rapuh untuk membiayai anak dan istrinya. Bahkan yang ada dalam pikirannya anakku, anakku, anakku. Tapi anak itu terkadang melupakan kasihnya. Katakanlah ibuuuu, ibuuuu, ibuuuu, ayah, ayaaaah, ayaaaah, maafkan aku yang telah lalai, dan mancampakkanmu. Ibu, ayah kebaikanmu itulah kemulianmu.

Galengan telah banyak mengajarkan arti sebuah kehidupan. Apakah saat ini galengan itu masih seperti 25 tahun yang lalu. Esok aku akan menemuimu, dan mengingat kembali pesan dari seorang ibu-ayah yang saat itu memberikan makan terlebih dahulu kepada aku. Sebelum anaknya kenyang, baru kedua orang itu makan.

Petani dan sosok istrinya yang setia, mereka itu adalah kedua orang tuaku yang selalu mengingatkan semua akan tumbuh dengan daun yang hijau, batang yang menjulang, buah rimbun dan akar yang kokoh. Ketika niat dibarengi doa dengan selalu ikhtiar, anakku jangan kau tinggalkan saat kau mendengarkan panggilan jiwa untuk bersujud kepada-Nya, karena saat itulah dirimu dekat dengan TuhanMu.

By Tim Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Menarik Lainnya